Hantu Jembatan Sungai Batang Serangan

Sungai Batang Serangan di Kabupaten Langkat, Sumut, hulunya berada di kawasan Gunung Leuser. Aliran sungai ini melintasi Kecamatan Batang Serangan, Kecamatan Padang Tualang, dan Kecamatan Tanjung Pura, sampai akhirnya bermuara di perairan Selat Malaka. Di masa lalu, sungai Batang Serangan menjadi urat nadi transportasi pedagang dari manca negara. Kota Tanjung Pura menjelma menjadi pusat bisnis pedagang dari berbagai kawasan di Nusantara, bahkan mancanegara, salah satunya berkat keberadaan sungai ini.

Alur sungai Batang Serangan mengalir di kota Tanjung Pura menuju laut lepas, sehingga menjadikan Tanjung Pura sangat ramai. Bukan saja menjadi pusat bisnis, melainkan sebagai pusat pemerintahan Sultan Langkat kala itu.

Sejak pemerintahan kolonial Belanda membuka jalan darat, sungai Batang Serangan dibuat jembatan dari kerangka besi baja. Buruh pekerja di masa itu didatangkan dari Pulau Jawa dengan istilah kerja paksa.

Memang tidak ada catatan resmi berapa ratusan buruh asal pulau Jawa yang meregang nyawa ketika mengerjakan pembangunan jembatan. Namun, diperkirakan ada sekitar ratusan orang mati, dan konon dijadikan tumbal. Mereka dikuburkan seperti menguburkan bangkai binatang.

Kondisi buruh di masa itu sangat memprihatinkan. Mereka hanya diberi makan, tapi tidak diberi upah. Mereka menjadi budak dipaksa seharian bekerja. Bagi yang menderita sakit, dibiarkan meregang nyawa di barak-barak di pinggir sungai Batang Serangan, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Apalagi, di masa itu berjangkit wabah malaria tropika. Bagi yang meninggal dunia mayatnya ada yang dibakar dan dibuang ke dalam sungai Batang Serangan. Mayat-mayat yang mati tanpa dikuburkan secara manusiawi ini diyakini masyarakat, arwahnya bertempat tinggal di sekitar jembatan sungai Batang Serangan, di kota Tanjung Pura. Mereka pun gentayangan hingga sekarang.

Karena itulah, meskipun jembatan lama sudah dibongkar, namun para penghuni gaibnya masih tetap bercokol. Beberapa orang warga sekitar menceritakan,hingga kini di malam-malam tertentu, makhluk gaib penunggu jembatan kerap muncul memperlihatkan keberadaan diri mereka. Biasanya, kemunculan mereka saat bulan purnama atau saat hujan gerimis tengah malam.

Dikisahkan, penampakan hantu penghuni jembatan sungai Batang Serangan bermacam-macam bentuknya. Ada berupa serdadu Belanda menunggang kuda putih yang seolah tengah berpatroli, namun saat tiba di ujung sungai dia menghilang. Ada juga penampakkan sosok manusia yang berjalan tanpa kepala. Tak kalah menyeramkan penampakkan serombongan manusia pengantar mayat sedang memikul jenazah dalam keranda, dengan ratusan orang berjalan dalam keadaan luka berdarah-darah. Tak ketinggalan, penampakkan perempuan cantik dan laki-laki berbadan tegap tinggi dua meter lebih, seakan mereka dua sejoli yang tak bisa terpisahkan.

Warga sekitar sangat percaya, akibat penampakkan penghuni gaib jembatan tersebut, maka sering jatuh korban jiwa. Terutama menimpa para awak anggutan barang, bus antar kota antar propinsi, atau pengendara sepeda motor. Sudah tidak terhitung lagi jumlah korban jiwa meninggal dunia atau tenggelam di dalam sungai.

Pak Umar, supir bus antar kota dalam propinsi, adalah salah seorang saksi mata dari kebenaran sinyalemen tersebut. Hari Jum’at itu, dia mendapat trip pertama dari kota Pangkalan Brandan. Tiba di Kota Tanjung Pura, bertepatan dengan berkumandangnya adzan Subuh, tang terdengar dari menara masjid Azizi.

“Penumpang dalam bus saya ketika itu ada 25 orang. Kebetulan ketika itu gerimis. Saat hendak memasuki jembatan sungai Batang Serangan, kok saya melihat ada keramaian. Orang-orang berkerumun memenuhi badan jalan,” kenang Pak Umar yang sudah menjalani profesinya selama hampir 30 tahun.

Rupanya, pagi buta itu ada kecelakaan lalu lintas. Salah seorang dari mereka berperawakan tinggi, dan tubuhnya kekar berdiri mengatur arus lalu lintas. Bus yang dikemudikan Pak Umar diperintahkan orang itu agar berbelok ke kanan kemudian jalan lurus.

Pak Umar mengikuti perintah lelaki tinggi besar itu. Apa yang terjadi kemudian? Baru beberapa meter berjalan, tiba-tiba mobilnya telah sampai di bibir jurang jembatan. Jalan lurus yang tadi dilihatnya, tiba-tiba hilang. Tak hanya itu, orang ramai berkerumun yanh tadi memenuhi jalan tidak terlihat lagi.

“Malangnya, saya tak bisa lagi mengendalikan kemudi. Bus saya terjun bebas ke dalam sungai Batang Serangan,”ungkapnya.

Pak Umar sempat melompat ke luar, sehingga hanya menderita patah tangan kanan dan kaki kiri. Sementara, dua puluh lima orang penumpangnya hanya lima orang yang selamat, dua puluh orang meninggal tenggelam di sungai. Mayat mereka baru ditemukan lima hari kemudian. Itu pun setelah pihak terkait mendatang seorang pawang.

“Saya benar-benar trauma gara-gara peristiwa itu. Sekarang, saya jadi sopir angkot!” Tandas Pak Umar, mengakhiri ceritanya.

Siapa sebenarnya laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit hitam yang berdiri mengatur arus lalu lintas itu?

Pertanyaan ini memang menarik dicuatkan. Ada beberapa versi cerita berkembang di tengah-tengah masyarakat setempat. Versi pertama mengatakan, lelaki itu bernama Sumito. Semasa hidupnya dia adalah mandor pembuatan jembatan yang konon memiliki ilmu hitam kebal senjata tajam. Sumito juga bisa menghilang dan malih rupa. Dengan kelebihannya, dia sangat kejam terhadap buruh sehingga sangat ditakuti.

Meskipun Sumito seorang sakti, tapi di atas ranjang dia tak berdaya. Dia seperti seekor ayam jago yang telah patah tajinya. Dikisahkan, Partinah, isteri Sumito yang cantik tidak pernah merasaka apa-apa sejak menikah dengannya, kecuali perasaan kecewa. Sampai akhirnya dia memilih Paino menjadi pasangan selingkuhnya.

Malam itu, Sumito meninggalkan rumah. Setelah dia pergi, Paino mengendap-ngendap masuk ke dalam rumah Partinah melalui pintu dapur. Partinah menyambutnya dengan senyum bahagia. Paino ditariknya ke dalam kamar. Tak lama kemudian, keduanya larut dalam pergumulan. Hanya desah nafas mereka yang terengah-engah.

Malam itu, untuk pertama kalinya merasakan kenikmatan surga dunia yang luar biasa.

Hubungan terlarang itu terus berulang, terutama pada saat Sumito tidak ada di rumah. Tetangga kiri kanan pun sudah mencium gelagat mesum itu. Namun, mereka tidak berani melaporkannya pada Sumito, sebab Paino juga seorang jawara yang disegani kawan dan lawan.

Pepatah mengatakan, sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Malam itu, baru sekitar 30 menit keluar rumah, karena ada sesuatu yang tertinggal Sumito kembali pulang. Celakanya, Partinah lupa mengunci pintu depan rumahnya. Tiba di depan kamar tidur, Sumito mendengar suara desah nafas Partinah yang tengah terbuai kenikmatan.

Dengan kemarahan sampai ke ubun-ubun, pintu kamar ditendang Sumito, dan terbukalah. Partinah dan Paino terperangah. Mendadak wajah mereka berubah menjadi pucat. Tanpa berkata sepatah katapun, Sumito mengunuskan kerisnya ke tubuh Paino yang telanjang bulat.

Perkelahianpun terjadi dalam kamar itu. Dua jawara ini saling menghujamkan kerisnya. Partinah yang coba melerai, justru tertusuk keris Sumito. Perempuan itu tewas bersimbah darah. Perkelahian berakhir dua jam kemudian. Paino bersimbah darah dan tewas tertusuk.

Setelah membunuh kedua orang itu, Sumito berlari menuju jembatan Batang Serangan. Jimat yang selama ini dia pakai dibuangnya kedalam sungai. Sumito menyesali dirinya.

“Paino dan Partinah tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku tidak bisa memberikan kebutuhan biologis isteriku!” Bisik hatinya, penuh penyesalan.

Sumito lalu menghujamkan kerisnya ke dadanya, kemudian cia menceburkan diri ke dalam sungai. Konon, mayatnya tidak pernah ditemukan. Arwah Sumito diyakini warga masih gentayangan hingga sekarang menghuni jembatan tersebut.

Versi lain menceritakan, makhluk tinggi besar yang dilihat Pak Umar itu, adalah arwah penasaran seorang anggota polisi yang dibantai oleh laskar BTI (Buruh Tani dan Nelayan), sebuah ormas di bawah PKI. Kejadiannya pada tahun 1965, sekelompok anggota BTI yang dipersenjatai, menyerang pos polisi. Mijo, salah seorang anggota polisi yang jaga sendirian di pos itu menjadi korban pembantaian mereka. Mayatnya dibuang di sungai itu. Konon, mayat Mijo juga tidak diketemukan.

Semasa hidupnya, Mijo memang bertugas di jembatan sungai Batang Serang melakukan pemeriksaan kendaraan yang melintas di sana. Konon, setelah meninggal, arwahnya tetap menjalankan penjagaan dijembatan itu. Sosok gaib ini kerap menampakkan diri dengan memakai baju seragam hitam. Penampakan dirinya sesekali dilihat awak supir angkutan barang atau awak bus malam antar kota antar propinsi.

Keberadaan hantu Mijo atau hantu Sumito sering dilihat warga. Kadang naik sepeda ontel di atas jembatan sungai Batang Serangan. Penampakan arwah ini hanya sesaat saja, sebab ketika tiba di ujung jembatan langsung menghilang.

Bagi awak angkutan darat dan pengendara motor, penampakan hantu di jembatan ini merupakan pertanda musibah akan terjadi. Hantu itu akan mengalihkan penglihatan mata pengemudi dan pengendara sepeda motor ke jalan raya bayangan. Padahal jalan raya itu sesungguhnya tidak ada.

Akibatnya, awak angkutan bus dan mobil truk atau pengendara sepeda motor terjebak. Kebanyakan dari mereka terjun bebas ke dalam sungai. Tak terhitung jiwa yang ternggut akibat kejahilan sosok-sosok gaib ini.

Saksi lain adalah Wak Minah, 55 tahun. Perempuan pemilik warung kopi yang berada sekitar 200 meter dari jembatan ini, suatu malam mengalami sebuah peristiwa horor yang sangat mencekam.

Dikisahkan, malam itu sekitar pukul 22.00 dia hendak menutup warungnya yang sepi pembeli, karena sejak Maghrib gerimis turun. Padahal, biasanya para pengendara sepeda motor menjadi langganannya. Kadang ada pula mobil pribadi yang mampir untuks sekedar minum kopi agar kantuk hilang.

Baru saja Wak Minah hendak menutup warung, sekonyong-konyong muncul dua orang laki-laki paruh baya, dengan tubuh berlumuran darah. Pakaian mereka sangat lusuh, kotor bekas lumpur. Wak Minah menduga mereka korban kecelakaan lalu lintas.

“Kopi dua gelas, Bu!” Pinta salah seorang dari mereka.

Wak Minah urung menutup warungnya. Dia segera membuatkan kopi, meski saat itu dia sedikit merinding sebab tubuh kedua orang itu sepertinya menebarkan bau amis yang sangat menyengat hidung.

Setelah Wak Minah menghidangkan kopi, kepalanya mendadak jadi pusing dan perutnya mual. Perempuan janda paruh baya ini akhirnya memang muntah. Bahkan kemudian tersungkur diatas bangku panjang. Tidak sadarkan diri.

Dua jam kemudian datang Fauzan dan Indra, anak tetanganya. Pemuda baru lulus SMU ini hendak membeli rokok sepulang menonton organ tunggal di kota Tanjung Pura. Melihat Wak Minah tidur tidak sadarkan diri, mereka sangat terkejut. Ditambah lagi, melihat bekas muntahan di sekitar bangku panjang.

“Wak Minah!” Panggil Fauzan sambil menggoyang-goyangkan tubuh perempuan janda paruh baya itu.

Setelah berulangkali digoyang, Wak Minah akhirnya siuman.

“Wak kenapa?” Tanya Indra. Wak Minah menceritakan kejadian yang baru dialaminya.

Sejak kejadian itu, Wak Minah tidak pernah lagi membuka warung kopinya di malam hari. Menjelang Maghrib dia segera menutupnya. “Saya tidak ingin mengalami kejadian yang sama,” katanya sambil bergidik.

Kejadian serupa juga pernah dialami Pak Pandi, pedagang bakso. Memang, kedai bakso Pak Pandi letaknya hanya sekitar 10 meter dari jembatan angker itu. Setiap hari Pak Pandi berjualan hingga malam.

“Selama hampir 10 tahun jualan bakso, saya belum pernah mengalami kejadian dikunjungi makhluk gaib, meski saya berjualan hingga larut malam!” Pak Pandi memulai kisahnya.

Hari Jum’at itu, sejak siang hujan deras disertai angin bertiup kencang mengguyur kota Martapura. Untungnya, menjelang malam hujan berhenti, meski meninggalkan udara dingin menusuk tulang. Mungkin karena udara dingin, malam itu dagangannya laris diserbu pembeli. Tak heran kalau menjelang pukul 23.00 dagangan Pak Pandi sudah habis. Padahal, biasanya sampai jam 2 dini hari dagangannya masih tersisa.

Karena dagangan habis, Pak Pandi segera berkemas-kemas hendak pulang. Namun tak dinyana tiba-tiba muncul lima orang asing menghampiri kedainya.

“Bakso, Mas!” Ujar salah seorang di antara mereka dengan logat Jawa.

“Baksonya habis. Tinggal mienya saja!” Jawab Pak Pandi.

“Mie saja pun jadi!” Ujar yang lain. Kelihatannya mereka sangat lapar.

Sejenak Pak Pandi mengamati pembeli baksonya. Mereka berpakian kotor. Baju dan celana mereka penuh lumpur. Bahkan, dua orang di antaranya membawa pacul dan skop.

“Dari mana mereka malam-malam begini?” Bisik hati Pak Pandi, heran. Terlebih ketika bau busuk sangat menyengat menyerang hidungnya. Pak Pandi tambah kalut, sebab orang-orang nampak korengan bernanah.

Dengan tangan gemetar, Pak Pandi meletakkan lima mangkok bakso di hadapan mereka. Setelah itu, perutnya terasa mual dan kepalanya pusing. Dia tidak tahan mencium bau busuk dari tubuh mereka.

Pak Pandi muntah-muntah, sehingga seluruh isi perutnya keluar. Mendadak tubuhnya lemas. Dia tersungkur di depan gerobak baksonya, dan pingsan.

Saat siuman, Pak Pandi mendapati dirinya berada di rumah sakit. Botol infuse berada di samping ranjangnya.

Kepada isteri dan keluarganya, Pak Pandi menceritakan kejadian yang menimpanya malam itu.

“Mereka itu kuli paksa pembangun jembatan di zaman pemerintah penjajahan Belanda,” kata Pak Saman, salah seorang keluarganya. Pan Pandi ingat, semasa orangtuanya masih hidup pernah bercerita padanya tentang kuli paksa yang didatangkan dari pulau Jawa untuk membangun jembatan sungai Batang Serangan.

Sejak warung baksonya didatangi hantu pekerja paksa, Pak Pandi tidak pernah lagi berjualan bakso bila cuaca mendung pada malam hari. Dia memilih tetap tinggal di rumah berkumpul dengan keluarganya.



0 komentar:

Posting Komentar