Kekasihku Jadi Penganten di Alam Gaib

Di Tanah Rencong ada kawasan yang bernama Gayo Luwes. Kawasan ini dikenal sebagai yang paling indah di pedalaman Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Lembah-lembah dan ngarai yang menawan, fenomena birunya gunung-gunung, bukit-bukit yang permai, aliran-aliran sungai yang mengalir dengan tenang, senantiasa akan selalu memanjakan mata bagi siapa saja yang berkunjung ke sana.

Saya dan orang tua sudah lama tinggal dihulu sungai Tripa yang letaknya tidak jauh dari Kutapanjang. Sebagai putera yang tetua dari pasangan T. Fauzi dan Aulia, pada usia yang relatif muda, saya telah meninggalkan bangku sekolah. Salah satu penyebabnya adalah karena situasi keamanan yang tidak menentu. Maklum saja, kala itu konflik antara TNI dan GAM. Operasi DOM (Daerah Operasi Militer) yang dicanangkan pemerintahan Soeharto tengah gencar-gencarnya dilancarkan.

Setelah berhenti sekolah, saya lebih banyak menghabiskan waktu membantu orangtua di sawah dan diladang guna menunjang kehidupan kami sekeluarga. Masalah pendidikan formal benar-benar telah terlupakan. Sampai menjelang usia 18 tahun, saya berkenalan dengan seorang gadis satu desa. Kami lalu menjalin hubungan asmara meski secara diam-diam.

Karena pergaulan muda-mudi di Bumi Serambi Mekkah memang tidak sebebas seperti di tempat-tempat lainnya yang ada di Nusantara, maka hubungan kami itu benar-bernar terjalin dengan amat rahasia. Namun, meski kami pacara secara “back street”, saya dan Sumarni, demikian nama cewek itu, telah sempat berjanji setia hidup semati dan sepakat untuk menikah dalam waktu dekat.

Hampir dua tahun kami pacaran. Malangnya, karena situasi dan keadaan, keluarga Sumarni tiba-tiba mendadak pindah ke Medan. Mungkin karena kepergiannya yang tergesa-gesa, Sumarni tidak pernah memberi kabar dan alamat tinggal keluarganya di ibu kota propinsi Sumatera Utara itu. Maka secara otomatis, sejak saat itu hubungan asmara kami putus begitu saja. Janji setia yang kami ikrarkan ternyata tinggal janji. Semua terlupakan begitu saja.

Beberapa waktu lamanya setelah perpisahan yang menyakitkan itu, saya juga mendengar kabar yang tak kalah menyakitkan. Melalui kerabat Sumarni di kampung, dikatakan bawah gadis yang amat kucintai itu akan segera menikah dengan seorang pemuda pilihan kedua orang tuanya.

Meski cobaan dating bertubi-tubi, namun dalam kamus hati saya sebagai seorang lelaki, tidak pernah ada istilah patah hati. Kendati demikian, rasa kecewa tetap saja mendera batinku, sehingga cukup lama juga saya memendam rasa kecewa dan kesal. Barangkali, hal ini yang kemudian membuat saya selalu ingin menyendiri dan suka termenung.

Siang itu, sekitar pukul 12, saya masih duduk menyendiri di atas sebongkah batu yang terletak di pinggir sungai Tripa. Keadaan begitu sepi dan lenggang. Hanya semilir angina yang mengempas dedaunan, gemuruh air dan kicau burung yang kudengar. Saya tak mempedulikan suara-suara itu. Pandangan mataku yang kosong menatap arus air yang jernih dan bening. Gemericik bunyinya mengalir di celah-celah batu alam yang besar-besar, bagaikan bersenandung nada-nada sendu dan syahdu tentang sekeping hati yang terluka. Terus terang, ketika itu saya memang masih sangat terpukul atas penghianatan sang kekasih.

Saya masih duduk melamun dis itu ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan yang bernyanyi sebuah lagu rakyat Aceh dengan suara yang amat merdu. Saya begitu terpesona mendengarnya, dan segera berpaling ke arah datangnya suara. Sekitar 10 meter di sebalahku, saya melihat sosok seorang gadis belia sedang duduk diatas batu alam yang cukup besar dengan menjuntaikan kedua kakinya ke permukaan air. Anehnya, gadis itu sepertinya tidak mengenakkan busana walau sehelai pun alias telanjang.

Karena jaraknya cukup dekat, maka saya dapat dengan jelas menyakskan perempuan yang tidak memakai penutup dada tersebut. Memang payudaranya tidak kelihatan, karena dihalangi oleh rambutnya yang tergerai indah. Namun, pamandangan ini tak urung membuat jantungku berdegup 2 kali lebih cepat. Apalagi demi kusadari kalau tubuh gadis itu berkulit amat mulus, putih bak pualam.

“Siapa gerangan gadis itu? Mengapa dia telanjang di alam terbuka? Apa yang dicarinya?” Pertanyaan ini bertubi-tubi singgah di dalam benakku.

Anehnya, setelah kuperhatikan lebih cermat lagi, rasanya saya sangat mengenal gadis belia itu. Ya, dia sangat mirip dengan Sumarni, kekasih hatiku yang telah pindah ke Medan dan sebentar lagi akan menikah. Tapi yang mengherankan, mengapa dia berada di sungai ini? Apakah dia baru datang dari Medan dan ingin menemuiku? Kalau memang demikian, mengaku dia melakukannya dengan cara yang aneh, telanjang dan bernyanyi di sungai?

Untuk lebih memastikannya, saya segera bergerak turun untuk menemui gadis yang mirip Sumarni itu. Sebelum saya tiba di tempatnya berada, gadis itu sudah lebih dahulu menyingkir. Dia malah berenang ke tengah-tengah sungai menuju ke seberang.

Gadis dengan paras mirip Sumarni itu begitu pandai berenang di atas permukaan air yang mengalir amat deras di musim penghujan, hingga dalam waktu yang tidak terlalu dia sudah sama di seberang sungai. Saya berteriak-teriak memanggilnya. Sumarni tidak menjawab. Dia hanya melambaikan tangannya agar aku segera menyeberang. Akhirnya, aku pun segera berenang dan menyeberang kea rah tepian sungai tempat gadis itu naik ke darat.

Tubuh bagian belakangnya yang tak kalah indah itu masih sempat saya saksikan manakala dia berlari-lari kecil masuk ke dalam hutan. Karena penasaran, tanpa berpikir apa pun saya segea mengejarnya. Saya berlari mengikuti langkahnya yang meninggalkan bekas dijalan setapak.

Entah berapa lama kejar-kejaran itu berlangsung. Yang pasti, tanpa saya sadari, malam pun tiba. Memang sepertinya waktu berlalu begitu cepat. Meski kegelapan telah membungkus semesta jagat, namun cahaya bulan purnama masih mampu menerangi jalan setapak yang tengah saya lalui. Entah kenapa sedikit pun saya tidak merasa letih dan lelah. Saya masih terus mencari gadis yang amat mirip dengan Sumarni. Dan saya sama sekali tidak sadar bahwa sebuah keanehan telah terjadi.

Malam semakin larut, dan saya masih terus melacak gadis itu, ketika mendadak saya dikejutkan oleh ramainya suara ingar-bingar dan tawa canda. Sepertinya, ada pesta yang sangat meriah, seperti layaknya di tempat yang sedang berlangsung hajatan.

Saya segera berlari kearah sumber kemeriahan itu. Setelah mencari-cari dan coba memandang ke sekeliling dengan maksud ingin memastikan dari mana datangnya suara-suara tersebut, namun yang tampak hanya kegelapan dan kerimbunan pepohonan yang mengelilingi diri saya.

Setelah gagal menemukan gadis yang mirip dengan Sumarni, dan gagal pula menemukan pusat kemeriahan itu, maka sebuah kesadaran menelusup ke dalam hati sanubari saya. Ya, bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? “Pasti aku telah tertipu oleh sesuatu yang gaib!” Pikir saya dalam hati. Setelah sadar demikian, maka saya segera mengayunkan langkah untuk pulang. Namun anehnya, tak berapa lama kemudian di hadapan saya tampak sebuah daerah perkampungan.

“Kampung apa ini? Sepertinya aku belum pernah melihatnya?” Tanyaku dalam hati.

Ketika aku terus melangkah memasuki perkampungan itu, di salah satu rumah penduduknya nampak ramai dipadati oleh tamu, persis seperti layaknya orang yang sedang menghadari sebuah pesta. Di antara para hadirin itu ada yang asyik menari tarian daerah, dan ramai pula orang berjoged mengikuti irama lagu Melayu yang disuarakan oleh penyanyi wanita yang berdendang di atas panggung.

Entah bagaimana, saya sama sekali sulit menceritakannya secara persis, tiba-tiba saja ada dorongan dalam diri saya untuk bergabung dengan mereka berjoged gembira. Ya, mungkin hanya sekedar mencoba melupakan gadis belia yang mirip dengan Sumarni tadi. Tanpa berpikir panjang, kaki pun segera saya langkahkah ke arah keramaian itu.

Seharusbnya ketika itu saya heran karena ada perkampungan manusia yang berlokasi di lereng gunung yang cukup curam. Bahkan, sebagai seorang yang dilahirkan di wilayah itu, saya tidak pernah mendengar adanya perkampunagn ini.

Setelah puas berhoged melayu, entah mengapa tiba-tiba saya ingin mengetahui siapa gerangan yang tengah bersanding di pelaminan saat itu. Segera saya mendekat ke sana, dengan tanpa menghiraukan pandangan curiga orang-orang yang menatapku. Bahkan, saya bisa berhadapan langsung dengan kedua mempelai.

Untuk mengusir kecurigaan para tamu yang lain, saya segera menyalami kedua mempelai satu persatu. Pada giliran menyodorkan tangan ke arah mempelai wanita, sejenak saya tertegun dan terpana. Bahkan bingung. Kenapa tidak? Meskipun wajahnya sudah dirias sedemikian rupa, saya tidak bisa dibohongi kalau mempelai wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Sumarni, kekasihku.

“Kam…kamu…Su…Sumarni, bukan?” Sapaku setengah menggeragap.

Yang disapa tidak menyahut. Dia cuma menundukkan kepalanya. Namun, sesaat kemudian kulihat air matanya jatuh menetes membasahi baju pengantennya. Melihat hal ini, salah seorang pria setengah tua mengenakan pakaian yang agak aneh mendatangi saya.

“Anak muda…” bisiknya dengan cukup ramah. “Silahkan mengambil tempat duduk di kursi tamu yang masih kosong di sana!”

Meskipun pikiran dan perasaan berkecamuk, saya segera meninggalkan pelaminan tempat kedua mempelai bersanding. Kalau benar yang kulihat tadi adalah Sumarni, pacar dan kekasih saya yang pergi tanpa berita, dan saat ini sedang bersanding dengan pria lain, mengapa mereka mengadakan pesta perkawinan di kampung ini?

Pertanyaan tersebut masih terekam dibenak saya ketika seorang pelayan wanita membawakan minuman mirip sirup ke tempat saya duduk. Kebetulan saya memang sedang haus. Maka karena itu segera saja saya meminumnya. Tapi begitu tercium bau anyir seperti darah manusia, saya segera memuntahkannya.

Melihat sikap saya ini, orang-orang yang duduk di kanan-kiri terdengar tertawa sinis. “Ada apa, anak muda?” Tanya salah seorang dari mereka. “Apa kamu belum biasa minum sirup yang diracik dari darah manusia?”

“Benarkah minuman ini terbuat dari darah manusia?” Saya balik bertanya dengan takut dan jijik.

“Benar, kenapa?” Orang itu menatapku dengan tajam, seperti juga para hadirin yang lain.

“Artinya kalian disini setan-setan yang menyamar!” Saya segera bangkit dan ingin segera berlalu.

Namun salah seorang dari mereka segera menarik lengan saya agar tetap duduk. Lalu dengan setengah berbisik menjelaskan bahwa pesta yang tengah berlangsung tengah malam ini memang pesta setan.

“Belum lama ini ada rombongan pengantin pria dan wanita yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan di kampung seberang,” lanjut orang yang tadi, masih berbisik. “Tapi malang nasib mereka, kendaraan umum yang mereka tumpangi mengalami musibah masuk jurang dan semuanya tewas di tempat. Arwah-arwah mereka sepakat untuk mengadakan pesta di kampung ini yang dikenal sebagai Kampung Orang Bunian. Aku termasuk salah seorang korban kecelakaan tersebut!”

“Jadi mempelai wanita itu memang Sumarni?” Tanya saya ingin memastikan.

“Benar, anak muda! Apa kamu mengenalnya?”

“Ya, dia pacar saya!”

“Kasihan dia, dipaksa kawin oleh orangtuanya!”

Saya masih kebingunan ketika tiba-tiba orang disekitar berubah wujud menjadi kerangka tengkorak hidup yang menyeramkan. Dan ketika pandangan saya arahkan ke pelaminan, kedua mempelai juga telah berubah seperti itu.

Sebelum saya jatuh tak sadarkan diri, gadis belia bugil yang saya temui dipinggir sungai Tripa dan berparas mirip Sumarni tersebut, mendadak muncul di hadapan saya. Akhirnya saya pun jatuh pingsan.

Begitu siuman, saya sudah berada di rumah orangtua, dan terbaring di tempat tidur. Sanak keluarga semuanya mengucap rasa syukur sebab saya bisa selamat setelah tiga hari hilang dan ditemukan tergolek di dalam jurang yang angker.

Setelah peristiwa aneh ini, hampir sebulan saya tidak bisa diajak bicara. Dan saya sangat bingung ketika sanak keluarga menanyakan hal macam-macam. Misalkan saja, kenapa saya bisa berada di dasar lembah yang curam dengan tanpa luka sedikitpun?

Setelah saya sadar secara utuh, seorang dukun mengatakan, bahwa saya kerasukan makhluk halus penunggu sungai Tripa yang berwujud seorang gadis yang menyerupai Sumarni, kekasihku

Tapi benarkah mempelai wanita itu adalah Sumarni, yang telah mengalami kecelakaan bersama anggota rombongan yang lain. Kabar yang kemudian kudengar memang demikian. Setelah beberapa waktu pindah ke Medan, Sumarni akhirnya dijodohkan dengan pria asal Aceh, yang tinggal tak jauh dari kampong tempat saya tinggal. Malangnya, ketika rombongan pengantin melewati kawasan Gayo Luwes, kendaraan minibus yang mereka kendarai terjun ke jurang, dan tidak seorang pun yang selamat. Bahkan, mayat-mayat mereka hingga kini belum ditemukan, seolah lenyap tanpa bekas.

Beberapa waktu setelagh sembuh, di suatu malam, saya mimpi didatangi seorang gadis belia yang mirip Sumarni. “Kamu jangan menyalahkan Sumarni…” Ujar si gadis dalam mimpi itu. “Kekasihmu itu seorang gadis yang setia. Dan dia kini sudah tenang di alam sana. Pesta perkawinan yang kau lihat dikapung orang bunian yang kamu saksikan itu merupakan rekayasa setan belaka!”

2 komentar: