Ilmu Memedi Usus (leak)


Walau kejadian ini sudah lama berlalu, tapi sampai sekarang masih saja terukir jelas dalam ingatanku. Waktu itu, aku berumur 11 tahun. Bersama kedua orang tuaku dan keempat adik-adikku, aku tinggalkan kota Jakarta yang panas dan pengab. Maklum saja, Ayahku sebagai seorang prajurit TNI di pindahtugaskan ke kota kecil di Jawa Tengah. Tepatnya di kota Malang, letaknya di lereng Gunung Merapi. Kota yang berhawa dingin dan penduduknya masih sedikit ini rasanya sunyi sekali. Jauh berbeda dengan Jakarta.

Semula semuanya berjalan seperti biasa. Pagi hari aku sekolah dan selepas Maghrib aku mengaji di rumah Pak H.Sobirin bersama teman-teman sebayaku. Dan setiap hendak mengaji ke rumah Pak H.Sobirin, aku selalu melewati rumah Pak Somad, yang kehidupannya sangat miskin itu. Dalam hati, aku sering merasa kasihan melihat keadaan rumah Pak Somad yang hanya beratap daun kelapa dan berlantai tanah itu, serta tanpa penerangan listrik.

Memang, rumah Pak Somad ini agak terpisah dari rumah-rumah penduduk lainnya. Dan yang lebih memprihatinkan, sepertinya Pak Somad tidak mempunyai keluarga. Ya, dia tidak memiliki isteri maupun anak yang bisa merawat dan membantunya.

Pak Somad ini orangnya tidak banyak bicara dan tidak suka bergaul, bahkan seolah menutup diri. Apa pekerjaanya aku tidak tahu. Setiap aku dan teman-teman melintas di depan rumahnya, tampak Pak Somad sedang duduk di teras rumahnya dengan beralaskan selembar tikar lusuh dan berkain sarung.

Suatu hari, aku diajak keluar kota oleh Ayahku. Persis ke rumah nenek. Pulangnya agak kemalaman. Kata Ayah, sudah pukul 10. Suasana sangat sunyi. Maklum, kota kecil. Setelah turun dari bis, kami berjalan kaki melalui jalan kecil menuju rumah. Jalan sepanjang sekitar 300 meter itu memang hanya diterngai oleh satu lampu penerangan jalan. Karuan suasananya jadi hanya remang-remang.

Ketika melewati satu rumah tua yang tidak berpenghuni dan di halamannya terdapat pohon nangka, aku dan Ayah mencium bau anyir yang sangat menusuk hidung. Aku sampai mual rasanya. Cepat-cepat aku dan Ayah menutup hidung karena tidak tahan dengan bau amis darah itu. Tetapi kami tidak tahu dari mana asal bau tersebut.

Seiring dengan itu, terdengar suara berbisik di pohon nangka. Aku dan ayah spontan menoleh ke atas. Kami berdua tidak melihat apa-apa, kecuali seutas tambang berwarna putih kekuningan sebesar ibu jari orang dewasa, yang tampak menggelantung di antara dedaunan.

Tampak tambang tersebut meneteskan air yang sangat berbau amis. Anehnya, tambang itu juga bisa bergerak-gerak. Jadi, jelas bau busuk memang bersumber dari air yang menetes pada tambang itu.

Melihat kejadian aneh ini, Ayah lalu mengucapkan Allahu Akbar sambil menarik tanganku. Kami pun sama-sama berlari menjauh.

Sampai di depan rumah, Ayah lalu menggedor pintu sekuat-kuatnya. Ibuku sampai heran, ketika membuka pintu melihat Ayah dan aku terengah-engah. Ayahku lalu menuju kamar mandi, berwudhu dan shalat. Sedangkan aku hanya membasuh muka dan kaki lalu tidur. Badan ini rasanya penat sekali, dalam keadaan setengah sadar kudengar ayah dan ibu masih bebisik-bisik, sampai akhirnya aku terlelap.

Keesokan harinya, sepulang sekolah aku sengaja melintas di bawah pohon nangka yang semalam aku lihat ada tambang aneh yang menggelantung itu. Ternyata tambang tersebut tidak ada. Kuamati dengan seksama pohon tersebut, tetapi tidak ada apa-apa. Melihat aksiku ini, Bu Minah yang rumahnya berdekatan dengan pohon nangka, bertanya apa yang kucari sebenarnya. Aku hanya tersenyum sambil segera berlalu. Aku tidak berani bercerita kejadian semalam, karena dilarang oleh Ayah.

Tapi baru beberapa langkah, aku berpapasan dengan Pak Somand yang memandangku dengan tatapan tajam. Saat itu, ada rasa ngeri di hatiku melihat tatapannya, yang sepertinya tidak biasa itu.

Seminggu sesudah kejadian itu, tersebar cerita yang sungguh aneh. Disebutkan, ada seorang pendatang yang mempunyai kerabat di kampungku. Dia datang dari Cirebon, dan sampai di kampungku sekitar pukul 1 malam. Dia mengaku telah melihat kepala manusia bersama isi perutnya yang bergelantungan terbang kian kemari, lalu menuju pohon nangka itu. Ya, maksudku pohon nangka tempat aku dan Ayah melihat tambang aneh dengan air berbau amis menjijikan.

Diceritakan, malam itu si pendatang bersama temannya, lari ketakutan sambil bertariak-teriak, “Setan…setan…!” Hal ini mereka lakukan di sepanjang jalan.

Tentu saja penduduk sekitar terbangun. Tapi kedua pendatang tersebut sudah pergi entah kemana.

Keesokan harinya, orang ramai membicarakan kejadian itu. Menurut cerita yang tersiar dari mulut ke mulut, hantu itu memang sudah lama gentayangan di kampungku dan kampung-kampung lainya.

Sekarang semuanya menjadi jelas. Sejak itu, bila selepas pukul 8 malam, kampungku terasa sepi dan mencekam. Aku tidak mengaji pada malam hari, diganti siang hari.

Berminggu-minggu keadaan mencekam, terutama malam hari it uterus berlangsung. Sampai akhirnya ada sebuah titik terang.

Di suatu siang, datang seorang kakek ke rumahku. Dia memberi salam takjimnya. Kubalas salamnya. Kataya, si kakek mau bertemu dengan Ayahku. Kakek ini membakai baju koko berwarna putih, bercelana komprang dan ikat kepala yang juga berwarna putih.

Setelah bertemu dengan Ayah, mereka berbicara dengan setengah berbisik-bisik dan kelihatannya serius sekali. Entah apa yang emreka bicarakan. Sesudah itu, ayah dan si kakek mendatangi setiap rumah dikampungku, terutama yang ada laki-laki dewasanya.

Setelah selesai melakukan hal tersebut, Ayah pulang seorang diri, sedangkan si kakek tidak ikut serta. Di rumah, Ibu sempat menanyakan di mana rumah kakek tersebut. Kata ayah, rumahnya di seberang kali.

Beberapa hari setelah itu, tepatnya malam Jum’at, sekitar pukul 10 malam, Ayah keluar rumah. Di luar sudah menunggu beberapa orang laki-laki dewasa. Masing-masing membawa bungkusan yang isinya entah apa. Demikian juga ayah.

Di kamar, Ibu membisikan sesuatu padaku, “Orang-orang itu hendak memburu Memedi Usus!”

Ya, memang demikianlah orang-orang kampung itu menyebutnya. Kabarnya, apa yang disebut sebagai Memedi Usus ini suka memakan manusia.

Malam itu, aku berdoa untuk keselamatan Ayah dan orang-orang yang akan memburu makhluk itu. Saat itu, adik-adikku sudah tidur. Aku sendiri bingung, sebab entah kenapa malam itu aku tidak bisa tidur.

Selagi aku dan ibu dicekam rasa takut, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku dan ibu saling berpandangan. Kamu merasa khawatir, kalau-kalau yang mengetuk pintu adalah sosok Memedi Usus.

Setelah berulang kali pintu diketuk dan terakhir si pengetuh memberi salam, barulah Ibu berani beranjak menuju pintu. Rupanya, Ibu yakin kalau itu adalah suara kakek yang beberapa hari lalu bertandang ke rumah kami.

Sebelum membuka pingu, ibu mengintip dulu sambil berdoa. Barulah pintu dibuka. Dan benar, yang datang memang kakek misterius yang menjadi tamu kami beberapa hari lalu.

Setelah pintu terbuka, si kakek berkata pada Ibu, mengutarakan keinginannya mengajak aku pergi sebentar. Anehnya, Ibu sama sekali tidak melarangnya. Padahal kami tidak tahu asal-usul kakek itu, sebab baru mengenalnya beberapa hari lalu.

Aku sendiri tidak bisa menolak ajakannya. Sambil memegang tanganku erat-erat, aku diajak ke sebuah pemakaman yang sudah lama tidak berfungsi. Waktu itu, aku pun menurut saja. Meski dalam hati, aku sangat takut tapi tidak dapat menolak.

Setelah melewati beberapa makam yang kadangkala kakiku tersandung pada nisannya, akhirnya si kakek mengajakku berjongkok pada sebuah makam.

Suasana yang gelap, sunyi dan dingin membuatku takut bukan main. Sepertinya si kakek mengetahui keadaanku.

“Jangan takut, Nak! Tidak akan terjadi apa-apa,” katanya sambil melihat dan tersenyum padaku. Lalu tangannya mengusap mukaku sambil menunjuk ke suatu arah. Aneh, setelah itu suasana di sekitar pemakaman tampak terang. Dan aku melihat yang ditunjuk kakek itu berubah sama sekali.

Bukan main. Di hadapanku terpampang suatu pemandangan yang sungguh menyeramkan. Kulihat di sudut makam seseorang berdiri dengan hanya berkain sarung. Yah…..aku kenal betul dia adalah Pak Somad. Dia berdiri sambil bersandar pada pohon kelapa. Sedang apa dia disana? Aneh, kenada dia hanya berdiam diri.

Tidak lama kemudian, tampak kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan, perlahan tapi terus menerus. Setelah itu, kepalanya agak terangkat. Dan selanjutnya…astaga! Kepala itu terbang menjauhi badannya. Ya, kepala itu membawa serta isi perutnya yang bergelantungan dan meninggalkan badannya, dari mulai leher sampai kaki, yang masih tetap berdiri dan bersandar pada pohon kelapa, serta meninggalkan bau anyir yang amat sangat. Baunya sama dengan bau ketika aku dan Ayah menciumnya di bawah pohon nangka beberapa malam silam.

Pada saat itu, ingin sekali aku berteriak sambil lari meninggalkan tempat itu. Tapi semua itu tak bisa kulakukan. Mulutku terasa terkunci, dan kaki serasa berat, jantung berdebar, kaki gemetar.

Yang terjadi kemudian, aku melihat orang beramai-ramai mendatangi tubuh tanpa kepala milik Pak Somad itu. Mereka memasukkan sesuatu ke dalam kutungan leher itu. Suaranya berdenting seperti suara pecahan kaca atau gelas. Sebagian ada yang menggali tanah seperti layaknya hendak mengubur jenazah. Semua bekerja dengan cepat, bahkan seolah terburu-buru. Satupun dari mereka tidak ada yang berkata. Semuanya membisu.

Setelah tubuh tanpa kepala itu penuh dengan benda-benda, bahkan sampai berserakan keluar, serta lubang di tanah sudah menganga, mereka pun cepat bersembunyi lagi.

Keadaan kembali sunyi dan mencekam. Aku terus melihat ke arah tubuh pak Somad yang tanpa kepala itu. Meski taku bukan kepalang, aku tetap ingin mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya?

Setelah sekian lama menunggu dari jauh, kulihat kepala bersama isi perut Pa Somad terbang menghampiri potongan tubuhnya yang masih bersandar di pohon kelapa. Sepertinya potongan kepala itu ingin menyatu kembali dengan potongan tubuhnya. Tapi tidak bsia, kaerna lobang pada batang leher yang kutung itu sudah penuh dengan benda-benda tajam. Jelas kulihat kepala pak Somad memperhatikan tubuhnya, lalu mengelilingi tubuhnya. Terus berputar-putar.

Setelah itu, kudengar dia menangis, lalu menjerit keras sekali dan terbang menghilang di kegelapan malam.

Walaupun kepala itu sudah meninggalkan tubuhnya, tapi orang-orang yang bersembunyi belum berani keluar. Mereka sepertinya masih menunggu kejadian selanjutnya.

Dari jauh, terdengar kokok ayam jantan menandakkan fajar telah menyingsing. Barulah orang-orang itu beramai-ramai keluar sambil membawa obor. Keadaan menjadi terang. Kulihat mereka menggotong tubuh Pak Somad dan langsung memasukannya ke dalam lubang yang mereka gali. Lalu lubang itu ditutup rapat.

Sebelum mereka selesai bekerja, kakek segera mengajakku pulang. Sampai di depan pintu, kupanggil Ibuku. Setelah pintu dibuka, Ibu terbelalak melihatku. Aku segera menengok ke belakang. Maksudnya hendak mempersilahkan si kakek agar singgah dulu, sambil membahas apa yang tadi kulihat.

Tapi, ternyata kakek itu sudah tiada. Berkali-kali kupanggil, tetap tidak ada.

Ibu segera menarik tanganku ke dalam rumah dan cepat-cepat menutup pintu. Ibu marah, kenapa malam-malam pergi sendiri dan tidak minta ijin. Dari mana dan ada keperluan apa?

Aneh, bukankah tadi sewaktu berangkat, Ibu melihat dan diam saja aku dibawa si kakek? Tetapi sekarang Ibu malah bertanya dan menuduhku tidak minta ijin darinya?

Heranku menjadi-jadi, memikirkan kakek yang tiba-tiba menghilang dan Ibu yang mengatakan tidak melihat kepergianku.

Tentu saja aku menyanggah tuduhan Ibu. Selagi aku berdebat dengan ibu, Ayah datang. Ibu menceritakan semua kejadian. Ayah juga sempat bingung. Akhirnya, di depan Ayah kuceritakan semua yang kualami. Kulihat Ayah hanya termangu-mangu mendengar ceritaku.

Malam di penghujung pagi itu, kami bertiga tidak lagi tidur. Kami berjaga-jaga sambil berdoa pada Yang Maha Kuasa, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ayah berpesan, jangan menceritakan yang kualami pada siapa pun di kampung itu, karena orang tidak akan mempercayainya.

Keesokan hariya, orang sekampung ramai membicarakan dengan analisanya masing-masing….

Lima bulan setelah peristiwa itu, Ayah dipindahtugaskan ke Bandung dan menetap sampai pensin. Sampai sekarang, aku tidak tahu ilmu apa yang dipelajari atau dianut oleh Pak Somad. Serta apa kegunaan ilmu tersebut.

Semoga kisah ini dapat mengingatkan kita semua bahwa di sekitar kita memang masih ada ilmu-ilmu langka yang gaib sifatnya. Tak perduli zaman yang sudah semakin
canggih.

0 komentar:

Posting Komentar