Ritual Seks Bebas


Memang ada yang luar biasa dalam diri wanita itu. Sesuatu yang belum pernah dirasakan Ganda selama mengenal tubuh perempuan. Dirinya seolah-olah digiling, disedot, dilepaskan, kemudian dicengkeram lagi. Dan Farah tahu benar, saat-saat dia harus melakukan itu, sehingga Ganda yang tak pernah kalah dalam pertempuran, kali ini harus takluk hanya dalam waktu kurang dari lima menit.

Rangkulan kuat disertai tarikan pinggangnya ke bawah, suatu pertanda bahwa Farah juga tengah menggapai-gapai mendekati orgasme. Suara desis yang tak putus-putusnya mengakhiri gejolak birahi setelah kejut-kejut teratur yang terasa makin lama makin lemah.

Farah masih berbaring dengan wajah tengadah. Ganda merasa tubuhnya didera keletihan luar biasa. Keletihan yang tak pernah dia rasakan setelah berhubungan badan dengan banyak perempuan. Detak jantungnya masih memburu tak beraturan, namun otak masih sepenuhnya sadar.

Nalurinya membisikan ada bahaya mengancam. Ganda menoleh ke samping, tapi terlambat. Dilihatnya ular besar itu sudah menegakkan kepala, matanya yang kecil bersinar garang. Lalu, tubuh berisisik dan berlendir menjijikan itu menyerang secepat kilat. Dengan patukan mematikan.

Ganda segera menyelamatkan diri. Secepat kilat pula dia bangkit, mengelak dari serangan, dan dengan kedua tangan berusaha menahan bawah kepala yang datang menyeruduk. Ular itu meronta dan mencoba membelitnya. Sementara Ganda mempertahankan diri, samar-samar terdengar suara Farah.

“Dia harus mati! Dia sudah melihat tarian setan. Dadang, bunuhlah dia!”

Ganda berkelahi seperti harimau luka. Dengan kedua belah tangan dijepitkan kuat-kuat, dihantamkannya kepala ular itu berulang kali ke tembok. Sekuat tenaga, dan berulang kali. Sesaat kemudian belitan hewan itu mengendur dan secepat itu pula dilepaskannya, lalu dia menghambur ke pintu. Setiba diluar, masih sempat did engarnya Farah menatap.

“Dadang…oooh, Dadang…!” Desis parah.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ganda kembali ke loji itu. Ternyata Farah sudah meninggalkan tempat tersebut. “Dia kelihatan sedih sekali, tak henti-hentinya menangis,” kata petugas satpam yang ditemuinya di depan pintu gerbang.

“Dia mengatakan, salah seekor ular kesayanganya mati!”

“Suaminya bagaimana?” Tanya Ganda.

“Suami? Aku tak mengerti maksud Anda.”

“Dadang, pria bertubuh tegap itu. Dia selalu bersama Farah.”

“Tidak! Seingatku tak pernah ada laki-laki bersamanya, hanya ular. Semuanya ular. Selama ini dia selalu ditemani hewan-hewan tersebut. Memang agak aneh juga.”

Ganda meninggalkan tempat itu dengan pikiran tak menentu. Dia percaya pada petugas satpam yang mengatakan tak pernah melihat seorang pun pria bersama Farah. Seandainya ada, dia pasti tahu. Benarkah demikian? Apa sebenarnya yang dibunuh olehnya tadi malam? Ular atau Dadang? Ganda tidak tahu, dan mencoba untuk tidak memikirkannya.

Tapi, meskipun dia berupaya memikirkannya, Ganda tak akan kuasa. Gigolo itu merasa ada yang kurang beres pada dirinya. Otaknya, seolah kosong melompong. Sementara tubuhnya yang semula kekar berotot, dari hari ke hari berangsur luruh dan lemah.

Perlahan dan pasti, fisiknya cepat berubah. Kulitnya mengkerut seperti laiknya manusia yang telah uzur. Hanya lima minggu setelah dia memperoleh kenikmatan yang luar biasa dari tubuh Farah, bahu Ganda mulai bungkuk. Matanya mencorong ke dalam, dan dia mulai berjalan dengan lutut gemetar..

Sebenarnya, siapakah Farah itu dan kenapa Ganda bisa berubah begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, Misteri sengaja melakukan investigasi ke lokasi peristiwa. Ternyata Farah itu bukan nama bangsa manusia, tapi nama bangsa halus penunggu sebuah lapangan tenis.

Konon, menurut cerita yang tersebar, sebelum dijadikan lapangan tenis, tempat tersebut dulunya merupakan bekas loji-loji peninggalan penjajahan Belanda. Pada waktu jembatan yang menghubungkan Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung ke Desa Kunir belum terputus, jalan tersebut ramai sekali. Apalagi kalau malam hari, ramainya bukan main. Sebab, didekat jembatan tersebut banyak terdapat warung remang-remang, yang tentu saja disamping menjajakan kopi panas juga tubuh-tubuh perempuan yang hangat penuh gairah.

Sekarang, walau jembatannya sudah terputus, dan jalan menuju lapangan tenis sudah dipagari kawat berduri, namun masih saja ada orang datang ke tempat itu dengan naik perahu. Apalagi kalau hari libur atau hari pasaran Wage, banyak orang yang datang ke Desa Kaliwungu. Ada yang ke pasar Wage untuk berjual beli kambing atau lembu. Namun, ada yang sengaja ke utara pasar Wage untuk mengasah “pedang” ke warung PSK. Bahkan ada yang ke lapangan tenis untuk melakukan seks bebas di alam terbuka.

Perlu pembaca ketahui, ketika lapangan tennis itu masih berwujud loji, tempat tersebut pada zaman agresi Belanda pernah dijadikan markas pejuang Indonesia. Menurut keterangan Kopral Soekarmi, 82 tahun, mantan pejuang yang pernah mendapat bintang gerilya, pada waktu terjadi perang terbuka di PG. Kunir, pihak Belanda dengan persenjataan lengkap, sementara dari pihak pejuang Indonesia hanya memiliki senjata-senjata ringan, seperti pistol dan beberapa senjata mesin hasil rampasan dari balatentara Jepang.

Tidak heran kalau dalam pertempuran itu, para pejuang yang berusaha mempertahankan markas PG. Kunir, terpaksa mundur teratur dengan membawa rekan-rekannya yang gugur. Mereka berpencar menuju kantong-kantong gerilya untuk bergabung dengan kawan-kawannya sesama pejuang yang lain.

Dari sekian banyak gerilyawan yang bertempur di PG. Kunir, ada seorang pemuda namanya Ponidi. Dia hilang tak tentu rimbanya. Gugur atau ikut mundur, memang tak jelas. Tak seorangpun dari kawan-kawannya mengetahui ke mana jejak Ponidi. Kawan-kawannya sudah membawa jenazah para pejuang yang gugur tetapi mereka tidak menemukan jenazah Ponidi.

Ponirah, ibunya Ponidi, begitu cemas memikirkan nasib anaknya yang tidak diketahui keberadaannya. Sebagai seorang ibu, Ponirah berusaha mencari keterangan tentang nasib Ponidi, putra tercintanya. Komunikasi pada waktu itu memang sangat sulit, sehingga berita tentang nasib Ponidi masih simpang siur. Ada yang mengatakan Ponidi mundur ke selatan bergabung dengan pemuda di jurang Grandul. Ada juga yang mengatakan Ponidi bergabung dengan pejuang di Oro-Oro Ombo. Tapi kenyataannya keberadaan Ponidi hilang seperti di telan bumi.

Sebagai seorang ibu yang berjiwa patriot, Ponirah merelakan anaknya turut berjuang membela bangsa dan negara. Betapapun demikian dia tetap berharap dapat mengetahui keberadaaan anaknya. Seandainya gugur, dia ingin tahu di mana kuburannya. Kalau masih hidup, dia juga ingin tahu di mana keberadaannya, karena sampai saat itu berita tentang keberadaan anaknya masih simpang siur.

Ponirah selain terus mencari kemana-mana tak lupa memanjatkan doa untuk dapat mengetahui keberadaan putranya. Setiap saat tak putus-putusnya sebagai seorang ibu memanjatkan doa kehadirat Illahi, agar dapat menemukan putranya kembali, baik gugur sebagai pejuang maupun masih hidup.

Suatu malam ketika Ponirah sedang berdoa dengan khusyuk untuk keselamtan putranya, antara sadar dan tidak, seolah-olah dia mendengar suara. Suara itu menyuruh Ponirah untuk pergi ke Loji.

Dalam keterkejutannya, Ponirah yang sedang khusyuk berdoa melihat ke kiri dan ke kanan. ”Mimpikah aku?” Tanyanya dalam hati. Tapi tidak, karena ketika tangannya dicubit, dia merasakan sakit. Ponirah masih termenung antara percaya atau tidak. Hatinya berdebar-debar, apakah ini mimpi atau ilham dari Yang Maha Kuasa, atau juga karena dia terlalu berharap, lalu menjadi fatamorgana.

Namun merasa bahwa suara tersebut harus diikuti, siapa tahu ini memang suatu petunjuk dari Tuhan. Untuk bisa mengetahui keberadaan anaknya, setelah berbulan-bulan berdoa dan menangisi anak tercintanya itu. Mungkin Tuhan mengabulkan permohonannya dengan memberi petunjuk kepadanya.

Maka keesokan harinya, ketika matahari muncul dari peraduannya, Ponirah keluar rumah menyusuri jalan kampung menuju ke timur, berbelok ke utara ke jalan raya, kemudian belok kanan menuju PG. Kunir. Dari depan halaman PG. Kunir matanya menerawang ke arah loji-loji dengan mata sendu. Tanpa terasa air matanya mengalir membasahi pipi. Hatinya bertanya,” Di mana anakku, masih hidupkah kamu? Ibu ingin tahu bagaimana keadaanmu, Nak?”

Dalam keadaan hampa memandangi loji, tiba-tiba seorang noni Indo Belanda bertanya dengan bahasa Jawa,” Sugeng enjing, Bu! Kengeng menapa ibu kok nangis?”

Ponirah yang memang bisa berbahasa Belanda tidak menjawab dengan bahasa Jawa,”Goede morgenmevrouw. Ik huit voor my soon. Ik weet niet meer waar hy is nu. Leef hy nog of dood. Want ahter de stryd weeten niet meer waar hy was (Selamat pagi, saya menangisi anak saya. Saya tidak tahu di mana dia. Masih hidup atau sudah mati. Sebab setelah pertempuran di sini saya tidak tahu dimana dia berada),” katanya.

“Kalau begitu, barangkali Ibu bisa cari di bawah pohon itu!” Kata si noni Belanda. “Kalau tidak salah ada orang yang menguburkan mayat di sana!”

“Betulkan itu, Nona?” Tanya Ponirah setengah tidak percaya.

“Betul!” Tegas noni Belanda itu.

Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa membuang waktu dia segera pulang ke rumahnya di Gilang. Secepatnya pula keluarga Ponirah pergi ke belakang loji. Setelah digali di bawah pohon mahoni yang ditunjukkan oleh noni Belanda tadi, ada kerangka manusia dalam posisi duduk, seperti tidak sempat lagi dibaringkan. Mungkin dikuburkan dengan tergesa-gesa. Tapi menurut desas-desus atau selentingan, Ponidi meninggal karena diperkosa noni Belanda itu. Pada waktu itu, Ponirah beserta keluarga tidak bisa menahan haru dan tangisnya atas ditemukannya jasad putranya.

Dengan demikian, Ponidi bisa dimakankan di pemakaman umum Jati Wayang. Namun, kemudian jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Tapi sayang, penyebab Ponidi meninggal sampai sekarang belum terjawab. Yang jelas, tanah yang kini telah dibangun lapangan tenis dimana jasad Ponidi ditemukan dulu sekarang jadi sangat angker.

Menurut cerita yang tersebar, lapangan tenis tersebut dipercaya oleh warga ditunggui arwah noni indo Belanda yang bernama Farah. Maka dari itu tidak ada seorang pun yang berani ke situ, walau pada waktu siang bolong sekalipun. Semua takut kalau nanti bertemu Farah.

Apakah ada orang yang pernah bertemu dengan Farah? Banyak! Dari sekian banyak orang yang pernah bertemu dengan Farah, salah satu di antaranya yang bisa ditemui Misteri yaitu Sutrino, 41 tahun.

Kepada Misteri Sutrisno bercerita. Pada suatu hari, dirinya tengah mencari rmput di dekat lapangan tenis. Begitu melihat rumput di sekitar lapangan tenis hijau-hijau, dia nekad masuk. Padahal Sutrisno sudah diperingatkan temannya, “Mbok jangan nekad ke sana, Kang! Kalau sampeyan nekad, bisa ketemu Farah, lho!” Begitu kata sang teman.

“Biarin, masak siang-siang begini ada demit!” Jawab Sutrisno seenaknya.

“Ya sudah, kalau begitu!”

Ternyata apa yang dikatakan temannya itu benar. Sutrisno terkejut, begitu melihat ada seorang wanita di tengah lapangan dalam keadaan telanjang bulat. Makanya, ketika dia dihampiri wanita itu, langsung lari tunggang langgang.

“Benarkah ini yang namanya Farah?” Katanya dalam hati.

Tapi anehnya, tidak sedikit yang justru memanfaatkan tempat yang angker itu. Apa lagi kalau musim hujan tiba, banyak ABG yang datang ke sitiu untuk melakukan seks bebas di alam terbuka. Alasannya masuk akal, tidak ada orang yang berani mengganggu, termasuk lelembut penunggu lapangan tenis, karena takut dengan orang yang telanjang bulat. Atau mungkin mereka memang merestui perzinahan itu.

Saat melakukan kontemplasi di tempat tersebut, ada beberapa pasang ABG yang melakukan hubungan seks bebas di sana. Salah satu dari cewek yang ditemui mengaku bernama Astrid, 21 tahun.

Ketka datang ke rumahnya, keadaan sepi. Dirumah, Astrid hanya tinggal berdua dengan kakaknya, karena kedua orang tuanya merantau keluar negeri. Kebetulan pada waktu itu, kakaknya tidak ada di rmah, sehingga Misteri bebas ngobrol dengannya.

Astrid menarik diwawancari,karena dia dapat mewakili suatu komunitas yang disebutnya sebagai P2CL alias Perkumpulan Perempuan Cinta Lelaki. Tapi juga bisa diplesetkan menjadi Perempuan Penghisap Cairan Lelaki. Kelompok ini terdiri dari 6 anggota. Mereka biasa memburu kemana saja cowok-cowok ganteng yang dikencani. Bahkan mereka sudah tidur dengan beberapa cowok.

“Kami mencari kepuasan seks semata, bukan mencari uang!” Ungkap Astrid sambil memamerkan payudaranya yang berukuran 36B itu.

Yang menarik dari bincang-bicang ini, Astrid dengan jujur mengakui bahwa dia menggunakan ilmu mistik dalam menjerat mangsa. Dia tak menampik jika kekuatan mistik ini dilabeli sebagai Gendam Penghisap Cairan Lelaki. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Astrid menyebut bahwa lelaki tampan yang diincar P2CL, umumnya terkena ilmu Penghisap Cairan Lelaki itu.

“Ilmu ini pada awalnya saya pelajari dari seorang dukun di Pesisir Segara Kidul. Teman-teman P2CL juga saya kenalkan dengan dukun itu, dan belajar ilmu yang sama di lapangan tenis!” Aku Astrid.

Tapi, tegas Astrid, tidak selamanya ilmu itu digunakan. Hanya, bila Astrid, atau komunitas lainya, kesulitan mendapatkan mangsa, maka mereka terpaksa mengeluarkan ilmu gendamnya. Umumnya, pria yang diincar seratus persen pasti akan kepelet.

“Mereka kepincut secara gaib, atau mungkin karena mereka juga senang ngeseks!” Seloroh Astrit diselingi derail tawanya yang renyah.

Dalam pengakuannya yang jujur, Astrid sudah tidur dengan 30 pria muda dan tampan. Semua pria itu dicampakkan setelah dikencaninya.

“Saya malas dengan barang bekas. Kalau sudah bekas saya buang!” Celetuknya, sambil tertawa cekikikkan.

Dengan kecanggihan ilmu yang dikuasainya itu, Astrid tidak melakukan ritual yang berat. Ritualnya gampang, hanya melakukan seks bebas di alam terbuka.

Sampai kapan Astrid akan berhenti jadi maniak seks dan mengejar pria-pria idaman dengan ilmu Penghisap Cairan Lelaki yang tak wajar itu? Memang sulit ditakar. Cewek ini tidak tahu kapan dia akan berhenti, dan kapan kebosanan terhadap seks akan menjalari otaknya. Yang jelas, perilaku menyimpang ini sama sekali tidak patut ditiru!


0 komentar:

Posting Komentar