Mahkota Raja Sumedanglarang

Dulu, keturunan bangsawan Sumedang punya kebanggan tersendiri. Bila di antara mereka melangsungkan perkawinan, mempelai pria selalu diberi hak menggunakan mahkota raja yang terbuat dari emas murni. Tradisi ini dimulai sejak Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836-1882) memerintah Sumedang. Dia juga dikenal sebagai Pangeran Sugih.

Belakangan, karena keturunan Sumedang semakin banyak, dan khawatir keamanan dan keutuhan benda bersejarah itu terganggu, maka tradisi menggunakan mahkota raja hanya dilakukan dengan menggunakan duplikatnya saja, sementara yang asli disimpan rapi di Museum Geusan Ulun, Pendopo Kabupaten Sumedang.

Mahkota raja itu bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake, terbuat dari emas berlapis beludru. Menurut buku Astana Gede Kawali karangan H. Djadja Sukardja, bentuk mahkota itu meniru-niru mahkota Betara Indra, tokoh dewa dalam cerita wayang. Bagian utama dari mahkota adalah kuluk, yakni bagian yang menutup kepala hingga dahi. Puncak kuluk menyerupai stupa dan berbentuk kuncup bunga teratai. Bagian-bagian lain dari mahkota adalah turidha, terletak di depan dan berbentuk kelopak bunga berhiaskan permata hijau. Di kiri kanan kuluk terdapat hiasan umpak bersusun tiga.

Salah satu hiasan berbentuk ikan dan ujung belakang berjumbai hiasan biji mentimun. Sumping (hiasan telinga) bernama Prabu Ngayun, berbentuk seperti sayap bersusun tiga.

Makuta Binokasih Sanghyang Pake adalah mahkota Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedanglarang (1578-1610). Namun keberadaan mahkota itu sendiri memiliki sejarah amat panjang.

Menurut sejarah, Makuta Binokasih Sanghyang Pake dibuat oleh Sanghyang Bunisora, Raja Kawali (1357-1371) untuk penobatan penggantinya yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475). Sejak saat itu, setiap Raja Kawali bahkan hingga raja-raja Pajajaran, menggunakan Makuta Binokasih sebagai tanda sah bagi penguasa kala itu.

Prabu Ragamulya Suryakancana (1567-1579) barangkali adalah Raja Pajajaran terakhir yang menggunakan Makuta Binokasih sebab sesudah itu, Pajajaran sirna oleh serangan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf (1579).

Sang Ragamulya yang tak ingin Pajajaran "hilang", segera mengutus empat pembesarnya yaitu Jaya Perkosa, Terongpeot, Kondanghapa, dan Pancarbuana untuk segera mengestafetkan regenerasi pemerintahan Pajajaran ke Sumedanglarang. Maka jadilah Prabu Geusan Ulun sebagai penerus Pajajaran. Sekurang-kurangnya begitu menurut sumber resmi yang ditulis sejarahwan.

0 komentar:

Posting Komentar